Sesudah menikah berbakti kepada orang tua atau kepada pasangan?

Seperti yang banyak diketahui masyarakat pernikahan adalah penyatuan atau pengikatan antara dua anak manusia dan menjadikan halal bagi mereka apa yang diridhoi Allah dari keduanya. Tidak ada yang salah dengan anggapan seperti itu, tapi apakah hanya sampai di situ itu? Lebih dari itu pernikahan adalah penyatuan dua keluarga. Bagi sebagian orang memahami penyatuan dua keluarga hanya sebatas bertambah jumlah keluarga, akan tetapi dalam kehidupan nyata keluarga pasangan atau mertua bagaikan orang asing. Lalu bagaimana islam memandang hubungan dengan keluarga baru terutama mertua paska pernikahan?
Allah SWT berfirman dalam surat Al Isra’ ayat 23-24: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” Ayat tersebut terdengar tidak asing karena sering dijadikan materi pengajian baik di majelis ilmu bahkan sampai di siaran TV. Allah menyandingkan perintah berbakti kepada orang tua dengan mentauhidkan Allah, hal ini menandakan betapa pentingnya kita berbakti kepada orang tua. Siapakah orang tua itu? Dengan cepat pasti yang terbesit dalam pikiran anda adalah orang tua yang melahirkan dan membesarkan anada. Jawaban tersebut tidaklah salah. Lalu bagaimana dengan mertua kita? Tentu saja mertua juga termasuk orang tua kita yang harus kita hormati dan sayangi sebagaimana orang tua kandung kita. Ingat lho ya pernikahan tidak hanya menyatukan dua anak manusia tapi juga menyatukan dua keluarga. Sejak masih kecil kita memang terbiasa mengartikan berbakti kepada orang tua adalah berbakti kepada orang tua kandung atau yang mengasuh kita. Setelah akad nikah terjadi karena penyatuan dua keluarga tidak hanya pasangan kita yang menjadi bagaian dari diri kita semata, tetapi juga keluarganya.
Ada yang menarik tentang sikap bakti seorang wanita kepada orang tuanya sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah seorang wanita wajib berbakti dan mentaati orangtuanya selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah, sama seperti laki-laki. Akan tetapi setelah pernikahan posisi berbakti dan taat seorang wanita kepada orang tua bergeser kepada berbakti dan taat kepada suami terlebih dahulu kemudian kepada orangtua. Hal ini bersandarkan pada hadits nabi dari Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)

Meskipun demikian suami yang shalih akan tetap memotifasi istri agar tetap berbakti dan tidak menyakiti orang tuanya karena bagaimanapun orangtua istri juga orang tua suami. Lain halnya dengan lelaki, sikap bakti yang utama bagi lelaki setelah pernikahan tidak beralih kepada istri akan tetapi tetap kepada orang tuanya terutama ibu karena seperti yang sering kita dengar bahwa kedudukan ibu tiga tingkat lebih tinggi dari ayah, bahkan samapai di buat lagu qosidah hehe. Sedangkan kedudukan suami terhadap istrinya adalah imam, bukan ma’mum di dalama Al-Qur’an :
.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)
Dan hadits Nabi:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Syaikh al-Albani berkomentar: “Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.” (as-Silsilah adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, pada penjelasan hadits no. 593)[3]
Dari surat An Nisa ayat 34 tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempun yang berarti dalam sebuah keluarga suami wajib ditaati oleh istri tidak sebaliknya. Bukan suami takut istri yang diharapkan oleh islam tetapi suami sayang istri. Selain itu bukan berarti pula mentang-mentang suami sebagai imam istri yang menjadi ma’mum tidak boleh memberi usulan sama sekali lho ya. Seorang istri tentu saja boleh memberi usulan tapi ingat baik-baik ya istri (diriku juga istri dari suamiq harus ingat ini baik-baik) keputusan terahir tetap berada di tangan imam dan harus ditaati selama tidak bermaksiat kepada Allah. Kunci utamanya adalah di komunikasi yang baik agar sang imam bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan si ma’mum dapat menjalankan tugasnya dengan baik pula.

Dan pada hadits di atas nabi memerintahkan kepada Jahimah untuk berbakti kepada orang tuanya ketika ia meminta pendapat Rasulullah tentang keinginananya untuk berjihad. Ini menujukan betapa pentingnya amalan berbakti kepada orangtua sehingga harus di dahulukan keitika jihad adalah fardu kifayah. Lantas bagaimana jika mendahulukan istri dari pada ibu hingga membuat ibu murka?
Terjadinya pernikahan dan konsekuensinya telah mengubah rutinitas dan kebiasaan hidup meskipun tidak seluruhnya. Bertambah keluarga baru itu berarti harus beradaptasi tidak hanya dengan pasangan tapi juga dengan keluarganya apa lagi jika masih tinggal satu rumah dengan mertua. Biasanya dalam masa adaptasi akan menemui beberapa gesekan dengan mertua bahkan ketika keluarga sudah mapan sekalipun. Gesekan terhadap orang tua pasangan jika tidak disikapi dengan bijak dapat menimbulkan kedurhakaan. Jangan sampai kita mendapat kecelakaan karena menyakiti hati orangtua kita dan ia mengucapkan laknat kepada anaknya. Apalagi jika orangtua kita dan pasangan kita telah mencapai usia lanjut tidak ada yang lebih baik kita berikan kepada mereka selain dari doa yang tulus dan rasa bakti kepadanya. Dalam surah al isra’ ayat 23 Allah melarang pengucapan kata ‘ah’ kepada orangtua. Jika kata ‘ah’ saja dilarang bagaimana dengan kata-kata atau perbuatan yang lebih menyakitkan dari kata ‘ah’ ?! sudah pasti jauh lebih besar dosanya. Dari Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, “Rugi, rugi, dan rugi”. Seorang bertanya, ‘siapa itu (yang rugi), wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “orang yang menjumpai kedua orang tuanya di usia tua atau salah satunya, namun ia tidak masuk surga.”
[ HR. Muslim bab: raghima anfin man adraka abawaih 4/1978, Bukhari. Bab: man adraka abawaihi fa lam yadhulul al jannah, hal 16 (21)]. Hadits dari Abu Hurairah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa berbaktinya seorang anak kepada orang tua adalah sebuah kewajiban, bahkan amalan mulia ini mampu menghantarkan pelakunya menuju syurga. Semoga Allah mengindarkan kita menjadi manusia yang rugi dunia dan akherat.

Pada akhirnya yang kita butuhkan adalah keseimbangan antara menyayangi pasangan dengan menyayangi orangtua, karena surga anak berada di bawah telapak kainya (ibu). Bahkan bagi anak laki-laki status ini tidak berubah sama sekali setelah pernikahan. Para istri idealnya juga mengerti bagaimana kedudukan dirinya jika di sandingkan dengan ibu suaminya. Istri sholihah tidak akan menganjurkan suaminya untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya terutama ibu, karena sang istri juga wanita yang sama dengan ibu mertuanay. Surga anaknya juga tak bergeser dari telapak kakinya. Cobalah melihat kehidupan dari berbagai sudut pandang. Sebaliknya suami yang sholeh juga tidak akan menganjurkan istrinya untuk bebuat durhaka kepada orang tuanya.
Semoga Allah mudahkan kita menerima hidayah, ilmu, nasehat, dan juga semoga Allah memperbaiki akhlaq kita dan dimudahkan oleh Allah untuk menjadi hamba Allah yg hanif dan berbakti kepada orangtua.  (Akhsani Taqwiim)

Wallahu a’lam bissowab.
Daftar Pustaka:
As-Suwailim, Wafa binti Abdul Aziz, Fikih Ummahat Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, tert. Umar Mujtahid, Jakarta Timur: Ummul Qura, 2013

Gambar

Ketika kuputuskan berhijab syar’i

Alhamdulillah puji syukur hanya untuk Allah, atas hidayah yang telah Ia berikan kepada hambaNya yang ia kehendaki. Satu hal yang membuat saya tertarik untuk berhijab syar’i tentunya karena firman Allah dalam Al quran mengenai hijab dan juga banyak hadist Rasulullah yang menerangkan tentang hijab muslimah.
pertama kali mengenal hijab syar’i saat duduk di bangku SMP, bermula dari kewajiban di sekolah yang mewajibkan semua siswinya untuk mngenakan jilabab lebar dan kaos kaki. pada masa awal-awal berhijab terkadang masih sering menggunakan celana panjang yang lebar namun berangsur istiqomah menggunakan rok hingga bangku kuliah. kebetulan saya menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi seni di Indonesia tapi hal itu tak menyurutkan niat saya untuk tetap berhijab, bahakn mulai semester empat saya sudah beralih menggunakan gamis kemanapun saya pergi. kemudian salah satu yang membuat hidup saya berubah, saya bertemu dengan buku yang ditulis dengan mengagumkan menurut saya. saya membaca buku karangan Syaikh Dr. Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Ismail Al Ibnu Ismail Al M Muqaddam yang membahas tuntas mengenai hijab denagn dalil-dalil syar’i dan juga disertakan pandangan ahli tafsir Al qur’an dan hadist dari kalangan para sahabat , tabi’in dan para ulama terdahulu. Dari kitab tersebut saya menggambil kesimpulan bahwa berhijab secara sempurna adalah dengan menutup wajah (bercadar). Untuk lebih lengkapnya langsung dibaca pada kitab beliau. [ semoga dilain kesempatan juga bisa kita bahas di blog ini ]
Mengambil keputusan untuk memakai cadar adalah keputsan yang tak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Sejak dulu saya sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan hijab yang saya kenakan. Tapi apa boleh buat, setelah lebih banyak membaca tentang hijab dan penjelasan dari dalil-dalil hijab secara manatab saya berani mengambil keputusan itu dengan izin Allah. Saya berharap apa yang saya lakukan ini semata hanya untuk rido Allah. Begitu saya mempunyai azam untuk bercadar saya mengambil sisa uang jajan yang saya miliki untuk membeli cadar pertama saya. Karena saat itu liburan semaester, pertama saya membelinya saya tinggal di jogja, karena saya berencana baru akan memakainya saat taun jaran baru. Hal ini saya lakukan karena saya harus mempersiapkan mental saya ketika akan berhadapan dengan orang tua saya.
Pertama kali saya mengutarakan niat untuk bercadar ditanggapi bisa saja oleh orang tua, malah bapak tersenyum sambil tertawa ketika ku kenakan cadar dihadapanya. Katanya, “kalao ketemu dijalan gimana bapak bisa mengenali anak bapak” katanya, ku jawab saja “kalau anaknya sendiri pasti kenal walau ditutupi kayak apapun”. Qodarullah tidak lama selang saya berazam untuk bercadar datanglah ke rumah seorang lelaki bersama sang ayah dan sang ustadz untuk berta’aruf. Singkat cerita orang tua saya setuju saya menikah dengan lelaki itu. Akan tetapi ada kekhawatiran pada diri saya. Saat ta’aruf saya tidak bercadar dan tidak mengutarakn niat akan bercadar, saya khawatir kalau saja lelaki itu tidak menginginkan istrinya bercadar. Oleh karena sudah mantab hendak bercadar kuminta ibu untuk menanyakan padanya perihal wanita bercadar menurut pandanagnnya. Alhamdulillah ia memberi respon yang baik dan ketika akad nikah telah ditetapkan tanggalnya saya mempersiapkan pernikahan saya agar sesuai dengan syariaat islam. Saat itu saya tidak berkeinginan untuk di rias ala pengantin pada umunya, akan tetapi ibu bersikeras agar saya mau berias. Setelah diskusi cukup lama akhirnya saya iyakan asalakan saya diizinkan bercadar dan memakai jilabab yg besar. Pada awalnya ibu mengiyakan maka saya segera bertanya kepada sang perias pengantin mengenai pakaian yang ia sewakan dan juga mennyakan jilbab yang ia sediakan, walaupun saat itu sedang suasan hujan abu dari gunung kelud. Meskipun menurut pengakuanya jilbanya sudah besar tapi jika dikenakan akan sangat mepet menutup dada, akhirnya saya katakn kepada ibu perias bahwa saya akan memakaia jilbab saya sendiri. Waktu itu ada dua kebaya panjang yang akan saya kenakan, berwarna putih untuk akad nikah dan warna merah marun saat walimah. Bagi para muslimah yang hendak berhijab syar’i di hari pernikahannya tidak ada salahnya melihat langsung jilbab yang akan ia kenakan saat pernikahan selain memilih pakaian pengantin. hal itu karena meskipun anda sudah menjelasakan kepada perias ingin berjilbab syar’i tapi belum tentu persepsi anda dan mereka itu sama tentang hijab syar’i. Hal ini sempat dikisahkan oleh beberapa teman yang akhirnya tidak berhijab syar’i di hari pernikahan karena perbedaan persepsi jilbab syar’i anatar mereka dengan perias.

setlah melihat kebaya yang akan saya gunakan ada satu yang terpikirkan dalam benak saya. Segera saya menuju pasar untuk membeli kain jilbab berwarna putih dan merah marun tentunya. Sore-sore seperti itu sudah banyak pedagang yang tutup tapi Alhamdulillah akhirnya dapat juga. Tanpa buang waktu kuambil juga dua jilbab ibuku yang berwarna merah marun dan putih untuk kujadikan cadar ke penjahit padahal pernikahn kurang sehari lagi, sengaja tidak beli kain sekalian karena untuk mengkompres biyaya. Ta’aruf yang begitu tiba-tiba, dan juga waktu nikah yang begitu cepat ditentukan membuat saya begitu gugup hanya selang 2 pekan anatar khitbah dan nikah atau sebulan dari ta’aruf. Saat malam harinya tiba ternyata ibu kembali mempermasalahkan tentang keputusan saya untuk bercadar di hari pernikahan saya, saya tau kekhawatiran itu. Akan ada banayak orang pada hari itu dan akan ada banayak pertanyaan pada hari itu. Karena sudah tinggal beberapa jam sebelum akad saya katakana saja pada ibu kalau tidak boleh bercadar ngak mau di dandani. Mendengar pertanyaan itu ibu terdiam, kemudian bapak berkata “ya sudahlah bu, anak kita sudah besar biarkan ia jalani pilihanya.” Dan akhirnya pernikahan itu terjadi juga, dalam hati saya sangat bersyukur karena semua berjalan dengan sangat lancar.
Setelah menikah bukan berarti tak ada rintangan, saya sangat terkejut ketika ada orang dari kerabat dekat suami saya mengatakan hal yang tidak semstinya tentang syariat hijab seperti menganggap anti sosial dan lain sebagainya, bahkan ada yang mengkomentari sarung tangan yang saya kenakan, katanya untuk menyembunyikan gudik, na’udzubillah bisa-bisanya hati sesama muslimah mengatakan hal seperti itu pada saudaranya. Akan tetapi saya memilih mendiamkan kelakuan mereka, karena saya memang mudah tersulut emosi kalau saya membuka mulut sedikit saja. Saya memang terbilang muda dibanding mereka dan masih baru di lingkungan merka, apa salahnya saya ikut berkumpul karena saya memang bukan anti sosial. Tapi ketika berkumpulpun masih diberi sindiran dan perkataan yang tidak baik. Sedih sekali rasanya.
Sekali lagi karena saya sudah mantab untuk menunaikan syariat hijab maka saya bersabar dan malah menjauhi majelis-majelis seperti itu. Mungkin ada yang menganggap sikap saya ini malah salah ya. Tapi ini mungkin yang saat ini bisa saya lakukan karena saya belum bisa menjaga hati sati saya dan saya juga tidak suka berada diantra majelis orang-orang yang ghibah, na’udzubillah. Saya benar-benar memohon ampun kepada Allah akan sikap saya ini. Semoga saya dan mereka diberi hidayah oleh Allah dan Allah mempukan saya untuk berdakwah diantara mereka.
Lepas dari hal tidak mengenakan itu ada satu kisah lucu saat liburan idul fitri kemarin. Saat itu saya dan suami berpamitan kepada ibu untuk mengunjungi rumah nenek. Setelah saya pergi adik laki-laki saya bertanya pada ibu menegenai jilbab dan cadar yang saya kenakan.
“bu, mbk win nek neng kampus yo nagnggo klambi koyo ngono?” ( buk, kak win kalau di kampus juga berpakaian seperti itu?)
“iya” jawab ibu singkat.
“kok ra menarik yo” ( kok ngak menarik ya )
“ketok menarik ki yo nek karo bojone thok to, nek karo liyane yo ora. Mosok rung karoan dadi jodone kok wis diketok-ketoke, malah ketok murahan.” (kelihatan menarik itu ya ketika bersama suaminya, sedangkan yang lain tidak, masak belum tentu jadi suaminya sudah diperlihatkan [aurotnya], justru malah terlihat murahan). Begitu komentar ibu kemudian adik terdiam dan merenungi kata-kata itu. Mendengar cerita itu dari ibu aku tertawa kecil, dalam hati saya sangt bersyukur akhirnya beliau mengerti tentang hijab saya dan juga manfaat hijab saya bagi diri saya juga buat wanita yang lain.
Kisah saya ini mungkin belum seberapa heroiknya diabandingan dengan teman-teman yang sudah lama berhijab syari, tapi saya merasa bahagia bisa berbagi kisah ini kepada saudariku muslimah. Memutuskan untuk berjilabab syar’i bagi sebagian orang terasa sangat berat dan bagi sebagian yang lain sanagat mudah. Jika anda saat ini sedang ditimpa kesulitan untuk menunaikan syariat hijab ini bersabarlah sesungguhnya Allah melihat amal usaha kalian. Ingatlah selalau wahai saudariku muslimah bahwa pertolongan Allah itu amat dekat. Semoga bermanfaat.
[Akhsani Taqwiim]

Gambar

Dengki, Virus Penyulut Permusuhan

Pernahkah terbesit rasa bahagia di hati sahabat pada saat seorang teman kita melakukan kesalahan? Atau merasa sangat bahagia ketika seorang teman kita dicela dan dijelek-jelekan oleh orang lain? Juga menejelek-jelekan seseorang jika ditanya tentang dirinya? Waspadalah itu adalah tanda-tanda hati telah terjangkiti virus dengki. Padahal Rasulullah telah bersabda:

“Dan janganlah kalian saling mendengki!” (HR. Muslim)

Virus dengki jika terus dibiarkan maka akan berakibat sangat buruk baik pada pelaku atau pada orang yang didengki. Jika ada banayak hal peneyebab permusuhan maka dengki adalah salah satunya yang paling berbahaya. Dengki menjadikan pelakunya terjerumus pada jurang kegelapan yang menjadikan hatinya gelap gulita dan sulit mendapatkan cahaya terlebih jika pembawa cahaya itu adalah orang yang didengkinya. Bisa jadi ia akan enggan dan lari dari cahaya kecuali bagi orag yang dirahmatai Allah dan ditunjukan pada hidayahNya.

Selain ketiga contoh di atas syaikh Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan dalam bukunya Bimbingan Menutut Ilmu menyebutkan tentang ciri-ciri dengki sebgai berikut;

Pertama, Seorang yang mempunyai rasa dengki ia akan merasa sakit hati ketika dalam suatu majelis ada sebuah pertanyaan dilontarkan pada orang lain atau temanya padahal ia ada di tempat tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah jika pertnyaan itu bukan ia yang menjawab akan menjadikan madhorot pada dirinya? Jawabanya bahkan tidak sama sekali. Syaik Abdul Aziz menasehatkan agar orang semacam ini mencoba berfikir bahwa hal itu adalah keutamaan dari Allah bagi siapa saja yang dikehendakin-Nya, dan pertanyaan yang diarahkan pada temannya tidak menunjukan bahwa temanya lebih utama dari dirinya secara mutlaq, niscaya hal ini akan terasa lebih ringan baginya.

Kedua, yang menjadi ciri oarang yang dengki adalah ia tidak akan menghargai manfaat atau ilmu yang dimiliki temanya. Sebagai contoh A sedang mencari sebuah penyelesian dari sebuah masalah yang dialaminya. Ia banyak membaca buku, banyak membaca artikel di internet juga berdiskusi dengan beberapa orang tapi belum juga menemukan pemecahan masalah yang sesuai dengan dirinya. Datanglah B kepadanya memberikan bantuan padanya dan menawarkan berbagai solusi, yang mana A mempunyai rasa dengki pada B sehingga A akan selalu meremehkan B. Jika solusi itu ternyata sangat tepat maka A hanya akan menyimpan kekagumanya saja karena menurut anggapanya menampakan kekaguman kepada B hanya akan menjatuhkan citranya dimata banayak orang. Andaikata solusi itu datang dari orang lain maka A akan memuji-muji orang tersebut dan tentu mengucapkan banyak terimakasih.

Ketiga, orang yang mempunyai penyakit dengki dalam hatinya akan terus berupaya mencari-cari kesalahan orang yang didengkinya dan menjelek-jelekanya. Sebagai contoh dalam sebuah forum diskusi yang bebas semua orang bisa mengeluarkan pendapat dengan membawa hujjah sesuai pemahaman masing-masing. Seorang berpenyakit dengki akan merasa perlu untuk mencari-cari kesalahan orang yang didengkinya dan mebelokan perkataan orang yang didengki sehingga membuatnya terjerumus pada sebuah kesalahan. Sahabat telah melihatnya bukan bahwa penyakit dengki ini sangat berbahaya.

Keempat, seorang dengan penyakit dengki tidak akan menujukan keutamaan dan pelajaran yang telah ia peroleh kepada yang menunjukan. Jikalau dia ditanya tentang pertanyaan tersebut pasti ia tidak akan meneyebutkan tentang peran temannya dalam menemukan jawaban tersebut. Ia merasa bahwa semua yang ia dapatkan adalah hasil upaya dari jerih payahnya seorang, dan tak akan terucap terimakasih kepada teman yang telah menujukinya jawaban tersebut.
Begitu berbahayanya penyakit ini, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk menghidar dari penyakit ini. Ibarat sebuah penyakit pasti ada obantnya demikian juga dengan dengki. Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan masih dalam bukunya yang sama memberikan tips-tips pada kita untuk mengobati penyakit dengki apabila sudah terlanjur nampak tanda-tandanya.

1. Mendoakan teman tanpa sepengetahuanya.
Percayakah sahabat jika mendoakn orang lain tanpa sepengetahuanya dapat menimbulkan rasa cinta? Pada umumnya kita mendoakan orang-orang yang kita cintai, kenyataanya doa itulah yang menjadi bukti bahwa mereka yang kita cintai selalu kita ingat dan kita ingin kebaikan untuk mereka. Dengan kita mendoakan orang yang namapak kita punya rasa dengki padanya membuat hati ini luluh. Seorang yang dengki sering kali mengingat oranag yang didengkinya dengan kebencian, sebgaimana ungkapan antara benci dan cinta hanya terpisah oleh sekat yang tipis. Dalam hal ini poin utamanya adalah pada intensitas mereka dalam ingatan. Ketika rasa dengki itu datang cobalah untuk mendoakanya ketimbang fokus pada hal buruk yang namapak mata, karena bagi si pendengki semua hal yang dilakukan orang yang didengkinya namapak buruk dimatanya.

Dari Abu Ad-Darda’ dia berkata: Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak ada seorang muslim pun yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan yang sama.” (HR. Muslim no. 4912)

Begitu indah bukan hadist tersebut, bahkan para malaikat mendoakan yang serupa baiknya untuk kita. Maa syaa Allah. Adakah yang tidak ingin didoakan oleh hamba Allah yang selalu taat dan tidak pernah mendurhakai-Nya ini?

2. Berusaha mencintainya, menanyakan keadaanya dan keluarganya
Pernahkah sahabat merasakan bahwa ketika sahabat mencintai seseorang menjadikan rasa dengki itu musnah sebagaimana besar rasa cinta kepanya? Kelihantanya memang mudah tapi nyatanya memang sulit jika penyakit dengki sudah terlanjur tumbuh. Jangankan untuk menanyakan keadaanya dan keluarganya untuk berjumpa dengan senyum yang tulus saja sangat berat sekali rasanya. Apa boleh buat keburukan memang harus dilawan, dan cara terbaik untuk melawan keburukan itu adalah dengan kebaikan.
Allah SWT berfirman:
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah terjadi teman yang sangat setia.” (QS:Fushshilat:34)
Seperti banyak ungkapan dari para motivator bahwa rasa dengki yang
ada di hati hanya akan membuat hidup kita terbebani dan tidak nyaman, lebih baik memulai berusaha untuk menghapuskan kedengkian dari pada membiarkan setan terus memupuknya. Hal ini menjadikan kita merasa lebih bahagia.

3. Mengunjunginya dan mengakui keutamaanya
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, akan diseru dengan seruan: ‘berbahagialah kamu dan mulialalah perjalananmu, akan dibngun untukmu sebuah rumah di surga’.” [ HR. Tirmiszi dan Ibnu Majah ]
Sling berkunjung menumbuhkan rasa saling cinta. Dan rasa cinta yang akan menghapuskan dengki sebgaimana besarnya cinta. Selain menumbuhkan rasa cinta sebagai imbalanya Allah muliakan hamba tersebut dengan akan dibangunkan rumah untuknya di surga. Maa syaa Allah.

4. Tidak rela dengan ketidak hadiran temanya juga ejekan dan celaan yang diarhkan padanya
Jika orang yang dengki akan berhasrat untuk menjelek-jelekan orang lain juga mencela orang yang didengki cara mengobatinya tentu dengan melakukan sebaliknya. Jika kita tidak mencegah rasa dengki yang ada maka setan akan memperparah keadaan dan menjahukan kita dari menemui hidayah-Nya. Sebaliknya jika kita melakukan kebaikan dengan membela orang yang kita dengki setidaknya hal itu membuat Allah ridho terhadap kita dengan terhindar dari dosa. Perlahan akan kita rasakan perubahan pada diri kita bahwa perbuatan baik itu telah merubah kita.

5. Mendahulukannya daripada diri sendiri.
Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad as-Samad mengambil contoh pada hal ini seperti saat berkumpul pada satu majelis lalu dilontarkan sebuah pertanyaan pada sahabt lalu menimbulkan ketidak sukaan pada teman sahabat. Kata syaikh, berikanlah kesempatan itu kepadanya. Sekalipun sahabat kehilangah hak untuk menjawab pertanyaan tersebut karena mengharap kerelaanya dan hal ini tidak merugikan sahabat sedikitpun dalam urusan agama, tapi sahabat diberi pahala karena hal tersebut. Karena sahabat bersegera dalam mendamaikan dan melembutkan hati.

6. Meminta pendapat dan nasehat padanya
Ibnu Abbas ra berkata: “ Tiga orang yang tidak aku balas kecuali dengan doa: seseorang yang aku datangi dalam majelis, lalu ia berdiri kepadaku dengan tersenyum bahagia; seseorang yang memberi keleluasaan dalam suatu majelis dan seseorang yang terkena musibah lalu ia meminta pendapat kepadaku.”

Dengan meminta pendapat kepadanya membuat hatinya cinta dan menerima kita. Tentunya ia tahu kita datang dengan rasa penuh cinta untuk menguatkan persahabatan.

Mengenai hal ini kita dapat belajar kepada para ulama salaf bahwa mereka saling menghormati dan meninggalkan sifat dengki. Disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra, Ibnu al-Qasim berkata, “Saya mendengar Malik menyebutkan bahwa pada masa khalifah Abu Bakar ra ada seorang yang bermimpi. Ia bermimpi kiamat sudah terjadi dan manusia dikumpulkan.” Lalu Malik ra menyebutkan, “Seolah-olah ia melihat Umar bin al-Khatab ra adalah orang yang paling mulia di tengah manusia.” Ia berkata, “Dikatakan kepada Umar mulia dengan kekhalifahan dan keislamanya. Ia juga tidak takut karena Allah terhadap celaan orang-orang yang hina.”
Ketika pagi tiba, laki-laki itu datang. Ternyata Abu Bakar dan umar sedang duduk bersama dan ia menceritakan mimpinya. Setelah ia selesai berbicara, Umar membentaknya dan berkata, “bangunlah dari mimpimu!!” lalu laki-laki itupun pergi.”
Ketika Abu Bakar telah wafat dan kekuasaan dipegang oleh Umar ra, Umar memanggil orang tersebut dan dan berkata kepadanya, “Ceritakan kembali mimpimu tentang diriku itu?” Orang itu menjawab, “Bukankah kamu telah menloknya?” Umar berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak malu meneybutkan keutamaanku di majelis Abu Bakar, sedangkan ia yang memimpin di majelis tersebut.?”
Lihatlah bagaiman Umar ra tidak rela jika keutamaanya disebutkan sedangkan Abu bakar as-Sidiq yang lebih utamanya hadir dalam majelis tersebut. Meskipun hal itu tidaklah berdosa tapi marilah kita belajar dari kelembutan hati Umar ra. Demikian sahabat sedikit dari pembahasan mengenai virus dengki. Semoga kita dimudahkan untuk menghapus segala noda dengki di hati kita dan ditunjukan pada jalan menuju ridho-Nya.(Akhsani Taqwiim)

Daftar Pustaka:
As-Sadhan, Abdul Aziz bin Muhammad. 2006. Bimbingan Menuntut Ilmu. Jakarta: Pustaka at Tazkia

Gambar

Apakah cadar (Baca:Niqab) itu bid’ah?

artikel2272

Mungkin banyak sahabat yang masih merasa asing ketika melihat seorang wanita bercadar. Bahkan tak jarang terbesit di dalam benak sahabat “apakah cadar merupakan ajaran Islam ataukah perkara yang baru dalam Islam?”. Seorang sahabat yang kucintai menyampaikan keprihatinannya mengenai hal ini dan berinisiatif untuk mengumpulkan dalil dari kitab ulama syafi’iyah mengenai pembahasan cadar. Kenapa hanya mengkhususkan dari kitab syafi’iyah? Jawabnya sederhana saja, menurut penjelasnya karena madzhab Imam Syafi’I adalah madzhab yang paling banyak pengikutnya di Indonesia. Hal yang paling mendasari keprihatinannya saat ini adalah ia merasa terusik dengan ulasan beberapa tokoh agama terkemuka di Indonesia yang kebanyakan bermadzhab Syafi’i namun ketika ditanya oleh para jama’ah pengajianya mengenai hukum cadar ( baca:niqab ), mereka cenderung menyuguhkan dalil-dalil sepintas menurut anggapan mereka saja. Adapun hal tersebut belum ita dapati dalam kitab klasik maupun modern milik madzhab Imam Syafi’i.

Berikut ini ulasan singakat mengenai cadar menurut madzhab Imam syafi’i

Menurut madzhab Imam Syafi’I aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memaki niqab di hadapan lelaki ajnabi jika dikhawatirkan timbulnya fitnah.
Berikut ini kami sodorkan dalil-dalil mu’tamad mengenai hukum niqab menurut madzhab Imam Syafi’I sebagai referensinya:

Dalam kitab Hasyiyah asy Syarwani ala Tuhfatul Muhtaj: 2/112
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam sholat-sebagaimana telah dijelaskan yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pandangan yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha.”

Dalam kitab Hisyiyatul Jamal : 411
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
Maksud perkataan An-Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita Muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalahs seluruh badan.”

Dalam kitab Fathul Qarib: 19
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat, ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat aurat wanita adalah seluruh badan.”

Dalam kitab Hasyiyah Ibnu Qasim ala Tuhfatul Manhaj : 3/115
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dengan telapak tangan bukan karena keduanya aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar: 181
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب

“Makruh hukumnya shalat dengan pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (Cadar )”.

Dari ibarot-ibarot di atas dapat kita simpulkan sebagai mafhum bahwa memakai niqab itu sangat dianjurkan dan tidaklah bid’ah sama sekali. Bahkan jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah maka memaki niqab menjadi wajib hukumnya.
Demikianlah pembahasan singkat menegnai hukum cadar. Sudah terjawabkan pertanyaan sahabat? Jadi tak perlu kita merasa asing dan memandang aneh muslimah yang bercadar lebih jauh lagi tak perlu mengolok-olok dan menyematkan julukan yang buruk seperti teroris, ekstrimis, dan lain sebagainya kepada mereka. Cadar adalah kemuliaan bagi wanita muslimah. Karena ketika olok-olokan yang terlontar sejatinya bukan muslimah bersangkutan saja yang menjadi sasaran utama olok-olokan, akan tetapi tanpa sadar lisan tersebut telah menjadikan syariat Allah sebgai olok-olokan, Na’udzubillah.

Kami ucapkan terimakasih kepada guru besar kami al-Ustadzah al-Kuwaitiyah dan saudara (yang tidak perlu kami sebut namanya) ) Semoga Allah merahmati keduany yang telah menyempatkan mencari sumber hukum dari kitab-kitab syafi’iyah. Semoga dengan tulisisan singkat ini dapat menambah wawasan kita mengenai hijab dan menambah kecintaan kita kepada ilmu syar’i(Akhsani Taqwiim)

Gambar

Bahaya Keliru Niat Bagi Penuntut Ilmu

artikel172

Dalam kehidupan sehari-hari kita tak akan pernah lepas dari yang namnya niat. Niat merupakan rukun amal sebagaiman disebutkan dalam sebuah hadist tentang niat, Nabi SAW bersabda :

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan setiap orang itu akan mendapatkan dari amalnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.” [ HR. Mutafaq Alaih ]

Oleh karena itu nila perbuatan kita akan sangat tergantung dengan niat kita di mata Allah. Bisa jadi orang-orang akan memberikan pujian atau sanjungan tapi Allah belum tentu. Oleh karena itu sangat disayangkan jika amal ibadah kita menjadi rusak atau berkurang nilai pahalanya karena kesalahn dalam berniat. Ada banyak hal yang dapat mempengaruhi niat kita tentunya dan jadikanlah hanya untuk keridhoan Allah saja satu-satunya niat dalam beramal, tidak terkecuali dalm menuntut ilmu. Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) kami,benar-benar akan kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” [Al-Ankabut: 69]

Tidak dapat dielakkan lagi bahwa menjaga niat agar senantiasa lurus bukan perkara yang mudah. Sebagaiman yang telah diakabrkan di dalam Al Qur’an bahwa setan senantiasa mengoda anak cucu Adam agar jauh dari apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Bagi para penuntut ilmu bisa jadi godaan setan untuk bermaksiat tidak akan digubris. Akan tetapi setan tidak akan berputus asa untuk menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Jika diajak bermaksiat tidak mau karena paham bahwa hal tersebut dilarang dalam syariat maka langkah selanjutnya setan akan menghembuskan rasa bangga terhadap diri sendiri sehingga terbesitlah rasa ingin dipuji atau riya dan rasa ingin di dengar kebaikan-kebaikanya atau sum’ah. Godaan setan yang menyelip di hati para penuntut ilmu terkadang sangat halus dan hampir sulit disadari. Misalkan saja kita tinggal di lingkungan yang plural dan mayoritas teman-teman anda bukanlah orang yang faham dengan agama, bisa jadi mereka tidak tahu mana yang sesuai syariat mana yang tidak. Anda sebagai penuntut ilmu dengan ketinggian ilmu yang dikuasai tentu dapat dengan mudah mengidentifikasi mana yang sesuai dengan syariat dan mana yang tidak. Pada saat anada berusaha untuk beristiqomah melawan godaan setan dari maksiat anda akan bisa dengan tegas menolak godaan setan tersebut, alhamdulillah. Akan tetapi tidak sampai di situ, perlahan setan menghembuskan jurus andalanya. Setan akan berbisik, “lihat hari ini kamu yang paling istiqomah yang lain imanya lemah” atau “kamu memmang hebat diantara sekian banyak orang kamu yang paling ngerti sunnah rasulullah” dan lain sebagainya yang pada dasarnya setan berusaha untuk menggiring niat yang lurus menjadi melenceng ke arah riya’ dan sum’ah. Padahal Rasulullah telah bersabda:

“Sesungguhnya manusia yang pertama kali diadili pada Hari kiamat adalah tiga orang… hingga sabda beliau… dan orang yang mempelajari ilmu, mengajarkanya, dan membaca al-Quran. Ia dihadapkan kepada Allah, Allah memberitahukan nikmat-nikmatnya dan ia pun mengetahuinya. Allah bertanya kepadanya: “Apakah yang kamu lakukan dengan nikmat-nikmat tersebut?” Ia menjawab: “Saya mempelajari ilmu, mengajarkanya dan membaca al-Qur’an.” Allah berkata: “Kamu bohong, sesungguhnya kamu mempelajari ilmu agar kamu dikatakan sebagai seorang ulama, kamu mempelajari al-Qur’an agar kamu disebut sebagai pembaca al-Qur’an, itu semua telah dikatakan untukmu.” Kemudian Allah memerintahkan (untuk mengadzabnya), maka ia pun ditarik wajahnya lalu dilemparkan ke dalam neraka…” [HR. Muslim]

Lihatlah bagaimana Allah memberikan ganjaran bagi para penuntut ilmu yang mengharp sanjungan dan pujian dari mahluk. Allah lemparkan orang itu ke dalam neraka.

Imam Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidak ada urusan yang lebih berat bagiku kecuali menjaga niatku.” (Tadzkirah as-Sami’ wa al-Mutakalim, Ibnu Jama’ah, hlm.68) Seorang Imam ats-Tsauri yang terkenal bersifat wara’ saja berkata demikian terlebih kita yang bukan ulama. Sudah sepatutnya kita senantiasa memohon kepada Allah agar diteguhkan hatinya juga di luruskan niatnya dalam menuntut ilmu. Karena hanya dengan pertolongan Allah kita dapat melawan godaan setan. (Akhsani Taqwiim)