Gambar

Ketika kuputuskan berhijab syar’i

Alhamdulillah puji syukur hanya untuk Allah, atas hidayah yang telah Ia berikan kepada hambaNya yang ia kehendaki. Satu hal yang membuat saya tertarik untuk berhijab syar’i tentunya karena firman Allah dalam Al quran mengenai hijab dan juga banyak hadist Rasulullah yang menerangkan tentang hijab muslimah.
pertama kali mengenal hijab syar’i saat duduk di bangku SMP, bermula dari kewajiban di sekolah yang mewajibkan semua siswinya untuk mngenakan jilabab lebar dan kaos kaki. pada masa awal-awal berhijab terkadang masih sering menggunakan celana panjang yang lebar namun berangsur istiqomah menggunakan rok hingga bangku kuliah. kebetulan saya menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi seni di Indonesia tapi hal itu tak menyurutkan niat saya untuk tetap berhijab, bahakn mulai semester empat saya sudah beralih menggunakan gamis kemanapun saya pergi. kemudian salah satu yang membuat hidup saya berubah, saya bertemu dengan buku yang ditulis dengan mengagumkan menurut saya. saya membaca buku karangan Syaikh Dr. Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Ismail Al Ibnu Ismail Al M Muqaddam yang membahas tuntas mengenai hijab denagn dalil-dalil syar’i dan juga disertakan pandangan ahli tafsir Al qur’an dan hadist dari kalangan para sahabat , tabi’in dan para ulama terdahulu. Dari kitab tersebut saya menggambil kesimpulan bahwa berhijab secara sempurna adalah dengan menutup wajah (bercadar). Untuk lebih lengkapnya langsung dibaca pada kitab beliau. [ semoga dilain kesempatan juga bisa kita bahas di blog ini ]
Mengambil keputusan untuk memakai cadar adalah keputsan yang tak pernah terbayangkan oleh saya sebelumnya. Sejak dulu saya sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan hijab yang saya kenakan. Tapi apa boleh buat, setelah lebih banyak membaca tentang hijab dan penjelasan dari dalil-dalil hijab secara manatab saya berani mengambil keputusan itu dengan izin Allah. Saya berharap apa yang saya lakukan ini semata hanya untuk rido Allah. Begitu saya mempunyai azam untuk bercadar saya mengambil sisa uang jajan yang saya miliki untuk membeli cadar pertama saya. Karena saat itu liburan semaester, pertama saya membelinya saya tinggal di jogja, karena saya berencana baru akan memakainya saat taun jaran baru. Hal ini saya lakukan karena saya harus mempersiapkan mental saya ketika akan berhadapan dengan orang tua saya.
Pertama kali saya mengutarakan niat untuk bercadar ditanggapi bisa saja oleh orang tua, malah bapak tersenyum sambil tertawa ketika ku kenakan cadar dihadapanya. Katanya, “kalao ketemu dijalan gimana bapak bisa mengenali anak bapak” katanya, ku jawab saja “kalau anaknya sendiri pasti kenal walau ditutupi kayak apapun”. Qodarullah tidak lama selang saya berazam untuk bercadar datanglah ke rumah seorang lelaki bersama sang ayah dan sang ustadz untuk berta’aruf. Singkat cerita orang tua saya setuju saya menikah dengan lelaki itu. Akan tetapi ada kekhawatiran pada diri saya. Saat ta’aruf saya tidak bercadar dan tidak mengutarakn niat akan bercadar, saya khawatir kalau saja lelaki itu tidak menginginkan istrinya bercadar. Oleh karena sudah mantab hendak bercadar kuminta ibu untuk menanyakan padanya perihal wanita bercadar menurut pandanagnnya. Alhamdulillah ia memberi respon yang baik dan ketika akad nikah telah ditetapkan tanggalnya saya mempersiapkan pernikahan saya agar sesuai dengan syariaat islam. Saat itu saya tidak berkeinginan untuk di rias ala pengantin pada umunya, akan tetapi ibu bersikeras agar saya mau berias. Setelah diskusi cukup lama akhirnya saya iyakan asalakan saya diizinkan bercadar dan memakai jilabab yg besar. Pada awalnya ibu mengiyakan maka saya segera bertanya kepada sang perias pengantin mengenai pakaian yang ia sewakan dan juga mennyakan jilbab yang ia sediakan, walaupun saat itu sedang suasan hujan abu dari gunung kelud. Meskipun menurut pengakuanya jilbanya sudah besar tapi jika dikenakan akan sangat mepet menutup dada, akhirnya saya katakn kepada ibu perias bahwa saya akan memakaia jilbab saya sendiri. Waktu itu ada dua kebaya panjang yang akan saya kenakan, berwarna putih untuk akad nikah dan warna merah marun saat walimah. Bagi para muslimah yang hendak berhijab syar’i di hari pernikahannya tidak ada salahnya melihat langsung jilbab yang akan ia kenakan saat pernikahan selain memilih pakaian pengantin. hal itu karena meskipun anda sudah menjelasakan kepada perias ingin berjilbab syar’i tapi belum tentu persepsi anda dan mereka itu sama tentang hijab syar’i. Hal ini sempat dikisahkan oleh beberapa teman yang akhirnya tidak berhijab syar’i di hari pernikahan karena perbedaan persepsi jilbab syar’i anatar mereka dengan perias.

setlah melihat kebaya yang akan saya gunakan ada satu yang terpikirkan dalam benak saya. Segera saya menuju pasar untuk membeli kain jilbab berwarna putih dan merah marun tentunya. Sore-sore seperti itu sudah banyak pedagang yang tutup tapi Alhamdulillah akhirnya dapat juga. Tanpa buang waktu kuambil juga dua jilbab ibuku yang berwarna merah marun dan putih untuk kujadikan cadar ke penjahit padahal pernikahn kurang sehari lagi, sengaja tidak beli kain sekalian karena untuk mengkompres biyaya. Ta’aruf yang begitu tiba-tiba, dan juga waktu nikah yang begitu cepat ditentukan membuat saya begitu gugup hanya selang 2 pekan anatar khitbah dan nikah atau sebulan dari ta’aruf. Saat malam harinya tiba ternyata ibu kembali mempermasalahkan tentang keputusan saya untuk bercadar di hari pernikahan saya, saya tau kekhawatiran itu. Akan ada banayak orang pada hari itu dan akan ada banayak pertanyaan pada hari itu. Karena sudah tinggal beberapa jam sebelum akad saya katakana saja pada ibu kalau tidak boleh bercadar ngak mau di dandani. Mendengar pertanyaan itu ibu terdiam, kemudian bapak berkata “ya sudahlah bu, anak kita sudah besar biarkan ia jalani pilihanya.” Dan akhirnya pernikahan itu terjadi juga, dalam hati saya sangat bersyukur karena semua berjalan dengan sangat lancar.
Setelah menikah bukan berarti tak ada rintangan, saya sangat terkejut ketika ada orang dari kerabat dekat suami saya mengatakan hal yang tidak semstinya tentang syariat hijab seperti menganggap anti sosial dan lain sebagainya, bahkan ada yang mengkomentari sarung tangan yang saya kenakan, katanya untuk menyembunyikan gudik, na’udzubillah bisa-bisanya hati sesama muslimah mengatakan hal seperti itu pada saudaranya. Akan tetapi saya memilih mendiamkan kelakuan mereka, karena saya memang mudah tersulut emosi kalau saya membuka mulut sedikit saja. Saya memang terbilang muda dibanding mereka dan masih baru di lingkungan merka, apa salahnya saya ikut berkumpul karena saya memang bukan anti sosial. Tapi ketika berkumpulpun masih diberi sindiran dan perkataan yang tidak baik. Sedih sekali rasanya.
Sekali lagi karena saya sudah mantab untuk menunaikan syariat hijab maka saya bersabar dan malah menjauhi majelis-majelis seperti itu. Mungkin ada yang menganggap sikap saya ini malah salah ya. Tapi ini mungkin yang saat ini bisa saya lakukan karena saya belum bisa menjaga hati sati saya dan saya juga tidak suka berada diantra majelis orang-orang yang ghibah, na’udzubillah. Saya benar-benar memohon ampun kepada Allah akan sikap saya ini. Semoga saya dan mereka diberi hidayah oleh Allah dan Allah mempukan saya untuk berdakwah diantara mereka.
Lepas dari hal tidak mengenakan itu ada satu kisah lucu saat liburan idul fitri kemarin. Saat itu saya dan suami berpamitan kepada ibu untuk mengunjungi rumah nenek. Setelah saya pergi adik laki-laki saya bertanya pada ibu menegenai jilbab dan cadar yang saya kenakan.
“bu, mbk win nek neng kampus yo nagnggo klambi koyo ngono?” ( buk, kak win kalau di kampus juga berpakaian seperti itu?)
“iya” jawab ibu singkat.
“kok ra menarik yo” ( kok ngak menarik ya )
“ketok menarik ki yo nek karo bojone thok to, nek karo liyane yo ora. Mosok rung karoan dadi jodone kok wis diketok-ketoke, malah ketok murahan.” (kelihatan menarik itu ya ketika bersama suaminya, sedangkan yang lain tidak, masak belum tentu jadi suaminya sudah diperlihatkan [aurotnya], justru malah terlihat murahan). Begitu komentar ibu kemudian adik terdiam dan merenungi kata-kata itu. Mendengar cerita itu dari ibu aku tertawa kecil, dalam hati saya sangt bersyukur akhirnya beliau mengerti tentang hijab saya dan juga manfaat hijab saya bagi diri saya juga buat wanita yang lain.
Kisah saya ini mungkin belum seberapa heroiknya diabandingan dengan teman-teman yang sudah lama berhijab syari, tapi saya merasa bahagia bisa berbagi kisah ini kepada saudariku muslimah. Memutuskan untuk berjilabab syar’i bagi sebagian orang terasa sangat berat dan bagi sebagian yang lain sanagat mudah. Jika anda saat ini sedang ditimpa kesulitan untuk menunaikan syariat hijab ini bersabarlah sesungguhnya Allah melihat amal usaha kalian. Ingatlah selalau wahai saudariku muslimah bahwa pertolongan Allah itu amat dekat. Semoga bermanfaat.
[Akhsani Taqwiim]