Sesudah menikah berbakti kepada orang tua atau kepada pasangan?

Seperti yang banyak diketahui masyarakat pernikahan adalah penyatuan atau pengikatan antara dua anak manusia dan menjadikan halal bagi mereka apa yang diridhoi Allah dari keduanya. Tidak ada yang salah dengan anggapan seperti itu, tapi apakah hanya sampai di situ itu? Lebih dari itu pernikahan adalah penyatuan dua keluarga. Bagi sebagian orang memahami penyatuan dua keluarga hanya sebatas bertambah jumlah keluarga, akan tetapi dalam kehidupan nyata keluarga pasangan atau mertua bagaikan orang asing. Lalu bagaimana islam memandang hubungan dengan keluarga baru terutama mertua paska pernikahan?
Allah SWT berfirman dalam surat Al Isra’ ayat 23-24: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” Ayat tersebut terdengar tidak asing karena sering dijadikan materi pengajian baik di majelis ilmu bahkan sampai di siaran TV. Allah menyandingkan perintah berbakti kepada orang tua dengan mentauhidkan Allah, hal ini menandakan betapa pentingnya kita berbakti kepada orang tua. Siapakah orang tua itu? Dengan cepat pasti yang terbesit dalam pikiran anda adalah orang tua yang melahirkan dan membesarkan anada. Jawaban tersebut tidaklah salah. Lalu bagaimana dengan mertua kita? Tentu saja mertua juga termasuk orang tua kita yang harus kita hormati dan sayangi sebagaimana orang tua kandung kita. Ingat lho ya pernikahan tidak hanya menyatukan dua anak manusia tapi juga menyatukan dua keluarga. Sejak masih kecil kita memang terbiasa mengartikan berbakti kepada orang tua adalah berbakti kepada orang tua kandung atau yang mengasuh kita. Setelah akad nikah terjadi karena penyatuan dua keluarga tidak hanya pasangan kita yang menjadi bagaian dari diri kita semata, tetapi juga keluarganya.
Ada yang menarik tentang sikap bakti seorang wanita kepada orang tuanya sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah seorang wanita wajib berbakti dan mentaati orangtuanya selama tidak diperintah untuk bermaksiat kepada Allah, sama seperti laki-laki. Akan tetapi setelah pernikahan posisi berbakti dan taat seorang wanita kepada orang tua bergeser kepada berbakti dan taat kepada suami terlebih dahulu kemudian kepada orangtua. Hal ini bersandarkan pada hadits nabi dari Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)

Meskipun demikian suami yang shalih akan tetap memotifasi istri agar tetap berbakti dan tidak menyakiti orang tuanya karena bagaimanapun orangtua istri juga orang tua suami. Lain halnya dengan lelaki, sikap bakti yang utama bagi lelaki setelah pernikahan tidak beralih kepada istri akan tetapi tetap kepada orang tuanya terutama ibu karena seperti yang sering kita dengar bahwa kedudukan ibu tiga tingkat lebih tinggi dari ayah, bahkan samapai di buat lagu qosidah hehe. Sedangkan kedudukan suami terhadap istrinya adalah imam, bukan ma’mum di dalama Al-Qur’an :
.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An Nisaa’ : 34)
Dan hadits Nabi:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Syaikh al-Albani berkomentar: “Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.” (as-Silsilah adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, pada penjelasan hadits no. 593)[3]
Dari surat An Nisa ayat 34 tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempun yang berarti dalam sebuah keluarga suami wajib ditaati oleh istri tidak sebaliknya. Bukan suami takut istri yang diharapkan oleh islam tetapi suami sayang istri. Selain itu bukan berarti pula mentang-mentang suami sebagai imam istri yang menjadi ma’mum tidak boleh memberi usulan sama sekali lho ya. Seorang istri tentu saja boleh memberi usulan tapi ingat baik-baik ya istri (diriku juga istri dari suamiq harus ingat ini baik-baik) keputusan terahir tetap berada di tangan imam dan harus ditaati selama tidak bermaksiat kepada Allah. Kunci utamanya adalah di komunikasi yang baik agar sang imam bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan si ma’mum dapat menjalankan tugasnya dengan baik pula.

Dan pada hadits di atas nabi memerintahkan kepada Jahimah untuk berbakti kepada orang tuanya ketika ia meminta pendapat Rasulullah tentang keinginananya untuk berjihad. Ini menujukan betapa pentingnya amalan berbakti kepada orangtua sehingga harus di dahulukan keitika jihad adalah fardu kifayah. Lantas bagaimana jika mendahulukan istri dari pada ibu hingga membuat ibu murka?
Terjadinya pernikahan dan konsekuensinya telah mengubah rutinitas dan kebiasaan hidup meskipun tidak seluruhnya. Bertambah keluarga baru itu berarti harus beradaptasi tidak hanya dengan pasangan tapi juga dengan keluarganya apa lagi jika masih tinggal satu rumah dengan mertua. Biasanya dalam masa adaptasi akan menemui beberapa gesekan dengan mertua bahkan ketika keluarga sudah mapan sekalipun. Gesekan terhadap orang tua pasangan jika tidak disikapi dengan bijak dapat menimbulkan kedurhakaan. Jangan sampai kita mendapat kecelakaan karena menyakiti hati orangtua kita dan ia mengucapkan laknat kepada anaknya. Apalagi jika orangtua kita dan pasangan kita telah mencapai usia lanjut tidak ada yang lebih baik kita berikan kepada mereka selain dari doa yang tulus dan rasa bakti kepadanya. Dalam surah al isra’ ayat 23 Allah melarang pengucapan kata ‘ah’ kepada orangtua. Jika kata ‘ah’ saja dilarang bagaimana dengan kata-kata atau perbuatan yang lebih menyakitkan dari kata ‘ah’ ?! sudah pasti jauh lebih besar dosanya. Dari Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda, “Rugi, rugi, dan rugi”. Seorang bertanya, ‘siapa itu (yang rugi), wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “orang yang menjumpai kedua orang tuanya di usia tua atau salah satunya, namun ia tidak masuk surga.”
[ HR. Muslim bab: raghima anfin man adraka abawaih 4/1978, Bukhari. Bab: man adraka abawaihi fa lam yadhulul al jannah, hal 16 (21)]. Hadits dari Abu Hurairah ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa berbaktinya seorang anak kepada orang tua adalah sebuah kewajiban, bahkan amalan mulia ini mampu menghantarkan pelakunya menuju syurga. Semoga Allah mengindarkan kita menjadi manusia yang rugi dunia dan akherat.

Pada akhirnya yang kita butuhkan adalah keseimbangan antara menyayangi pasangan dengan menyayangi orangtua, karena surga anak berada di bawah telapak kainya (ibu). Bahkan bagi anak laki-laki status ini tidak berubah sama sekali setelah pernikahan. Para istri idealnya juga mengerti bagaimana kedudukan dirinya jika di sandingkan dengan ibu suaminya. Istri sholihah tidak akan menganjurkan suaminya untuk berbuat durhaka kepada orang tuanya terutama ibu, karena sang istri juga wanita yang sama dengan ibu mertuanay. Surga anaknya juga tak bergeser dari telapak kakinya. Cobalah melihat kehidupan dari berbagai sudut pandang. Sebaliknya suami yang sholeh juga tidak akan menganjurkan istrinya untuk bebuat durhaka kepada orang tuanya.
Semoga Allah mudahkan kita menerima hidayah, ilmu, nasehat, dan juga semoga Allah memperbaiki akhlaq kita dan dimudahkan oleh Allah untuk menjadi hamba Allah yg hanif dan berbakti kepada orangtua.  (Akhsani Taqwiim)

Wallahu a’lam bissowab.
Daftar Pustaka:
As-Suwailim, Wafa binti Abdul Aziz, Fikih Ummahat Himpunan Hukum Islam Khusus Ibu, tert. Umar Mujtahid, Jakarta Timur: Ummul Qura, 2013

2 respons untuk ‘Sesudah menikah berbakti kepada orang tua atau kepada pasangan?

Tinggalkan komentar